|
pict from google |
Kemaren malam, seorang teman dekat menghubungi saya untuk berbagi cerita. Dan suatu kebahagiaan ketika mendengar gelak tawanya lepas kembali setelah beberapa waktu ini cerita sedih selalu diutarakannya setiap menghubungi. Sekarang ia sedang bahagia. Permasalahan yang beberapa waktu lalu telah terselesaikan. Dan sebuah keputusan besar telah diambilnya dengan keyakinan untuk menjalani. Keputusan apakah itu? Menerima calon yang dikenalkan orang tuanya. Hellloooww…. Ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi kan? Bahkan, kisah Siti Nurbaya yang sebenarnya bukanlah mengenai kisah kawin paksa seperti yang melegenda di masyarakat selama ini. Orang tua Siti Nurbaya tidak pernah memaksa anaknya untuk menerima lamaran Datuk Maringgih sebagai kompensasi atas hutang-hutang ayahnya. Siti Nurbaya sendirilah, yang mengikhlaskan diri dan hatinya sebagai wujud bakti dan cinta seorang anak kepada orang tuanya. Jadi sama sekali, jangan samakan kisah Siti Nurbaya sebagai kisah kawin paksa.
Kisah sahabat sayapun bukanlah kisah Siti Nurbaya ataupun kisah kawin paksa yang sebenarnya. Ia hanya terjebak dalam kedangkalan komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam rencana besar itu, yaitu dia, calonnya dan orang tua serta keluarga besarnya. Tapi ketika di akhir episode ceritanya ini, kedangkalan itu dapat digali hingga ruang lapang tersedia bagi jalan mereka. Dan saat ini, ia bisa menarik nafas lega sementara, sebelum melanjutkan perjalanannya menuju tujuan yang mereka inginkan. Dan saya bercerita disini, tidak ada maksud untuk membeberkan kejadian-kejadian sebelumnya, tapi hanya untuk berbagi kisah, dengan harapan ada hikmah terselubung dari kisah ini yang bisa dipetik dan ia sudah mengizinkan saya untuk menceritakannya kepada kalian.
Kisah ini berawal, ketika ia untuk kesekian kalinya meminta pendapat saya untuk ikut serta memberikan penilaian terhadap calon yang diajukan orang tuanya. Seperti biasa, saya bersemangat mendukungnya untuk segera memilki pendamping. Dan saya sangat maklum dengan kekhawatiran orang tuanya, mengingat umur kami yang sudah pantas untuk menggendong bayi. Dan mereka juga pasti sudah merindukan panggilan manja dari generasi penerus kami. Orang tua saya juga pasti menginginkan hal seperti itu. Bedanya, saya sudah ‘membawa’ seseorang itu kepada keluarga besar dan insyaallah, jalannya akan segera saya tempuh. Sementara teman saya, saat itu belum juga mengambil sikap atas keinginan orang tuanya, hingga keluarga besarnya ‘heboh’ mencarikan ‘seseorang’ itu. Dan entah kenapa, sudah lama proses seperti itu berlangsung, beberapa tahun belakangan ini, semua calon yang diajukan sukses kami (saya ikut andil sebagai si pengambil keputusan) tolak. Dan kisah ini, juga mungkin akan berakhir sama, jika saja kesabaran itu berbatas.
Saya masih ingat, tersedu-sedu dia menangis menolak proses ini karena melihat calonnya bersikap seolah-olah ini adalah hal kecil dan remeh temeh. Sementara teman saya selalu didesak keluarganya untuk segera mengambil sikap. Sikap yang seperti apa?????, geramnya, jika calonnya itu saja tidak bergerak sama sekali, maju tidak, mundurpun tidak. Teman saya stress tingkat tinggi. Sayapun kollaps memberinya semangat, karena saya sendiripun geram dengan permasalahannya.
Saya hanya mampu menghiburnya dengan kata-kata sabar. Ini adalah jalan yang harus dilalui. Dan seberapa kuatpun ia menyangkal, beban itu sudah ditaruh dipunggungnya, dan ia harus tetap melangkah membawa beban itu hingga garis finish yang sudah ditetapkan. Akhir dari masalah ini sudah ada, tinggal menjalaninya dengan sikap yang sabar dan lapang dada. Apapun tujuan dari kisah ini, ada ‘sesuatu’ yang terselip di balik ini semua. Jika berakhir dengan komitmen kebersamaan, beban ini akan menjadi modal bagi mereka berdua dalam menjalani bahtera selanjutnya. Bahwa mereka berdua pernah terseok karena kerikil-kerikil tajam, tapi mampu berjalan hingga ke ujung. Dan jika seandainya berakhir tanpa kebersamaan, ini akan menjadi sesuatu hal yang ia yakini sebagai salah satu cara Rabb untuk menguji kedewasaannya dalam menjalani hidup.
Hidup itu adalah untuk memilih. Ia tidak boleh larut dalam permasalahan yang mendayu-dayu menguras kekuatan fisik dan pikiran. Ia harus segera mengambil sikap. Maju atau mundur sekalian. Mau tidak mau, komunikasi harus diperbaiki. Rapat penting empat mata mereka harus segera diadakan. Ganjalan-ganjalan dan keberatan harus didiskusikan. Setelah itu, satu dari dua jenis keputusan tadi adalah jawabannya. Dan, this is it…. Blash…seketika, Tuhan sang Maha Pemilik Hati, memberikan keyakinan kepada mereka berdua untuk mengecap manisnya apa itu cinta. Barakallah, sahabat, semoga jalan selanjutnya dimudahkan Sang Pemilik Cinta. Congrats yee… ^_^