Rabu, 22 September 2010

Ketika 3,5 Jam Itu Terlewati

“Oke, kita buang aja ya”, ujar dokter seraya mengeluarkan lempengan logam yang menahan lidahku. Sambil melepaskan head lampnya, dokter kembali ke kursinya dan akupun berasak dari kursi periksa.

Aku hanya mengangguk pasrah. Diberi kelebihan ‘kesensitifan’ amandel membuatku kadang tidak bersyukur akan kelebihan itu. Bagaimana tidak, akibat terlalu sensitifnya mendeteksi ‘hal-hal aneh’ yang masuk melalui mulutku, badanku demam 3 hari 3 malam karenanya. Tak jarang kadang disertai batuk yang sembuhnya sekehendak hatinya saja. Belum lagi karena kelelahan atau daya tahan tubuh dan stamina yang menurun atau akibat perubahan cuaca, ia meradang tanpa permisi. Dan itu rata-rata hampir setiap 2 bulan sekali kurasakan. Kini aku muak dengannya, dalam sebulan terakhir, 3 kali sudah dia datang mengunjungiku. Sampai berat badan yang dengan susah payah kunaikkan dalam beberapa bulan, amblas dilalapnya hanya dalam beberapa minggu. Kini aku sudah tidak tahan. Pergilah, amandel. Sudah saatnya kita berpisah :’(

“Besok ya Cha. Siap?”, pertanyaan dokter membuyarkan kenanganku bersama si amandel. Aku mengangguk lagi. Dokter tersenyum. Mungkin ia tahu aku sedang menguatkan hati bahwa besok aku akan masuk ruang operasi. Perasaan cemas mulai menggelayutiku. Namun perasaan untuk ingin lepas dari sakit lebih menguatkanku. Wejangan dokter mengenai apa yang harus aku lakukan sebelum dan sesudah operasi kudengarkan dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk dan wajah pasrah. Dan pemasangan gelang plastik bertuliskan identitas di tangan kiriku, sudah meresmikan kalau aku memang pasien di rumah sakit itu dan akan menjalani operasi tonsilitis pada tanggal 15 September 2010.

Sesuai jadwal, setelah berpuasa dari jam 9 pagi, jam 15.15 aku digiring ke ruang operasi, dengan berjalan kaki. Padahal yang aku bayangkan aku akan ditidurkan diatas tempat tidur beroda, lalu diantar suster dan keluarga yang berjalan dikiri dan kanan tempat tidurku menuju ruang operasi, seperti yang kulihat di sinetron-sinetron tv. Lalu dengan perasaan haru keluarga melepasku di pintu ruang operasi dan berkata kepada susternya, ‘lakukan yang terbaik untuk anak saya suster…’ Hahahaha….:D (lebay.com…)

Setelah berganti baju, aku disuruh naik meja operasi. Semua orang yang ada diruangan itu sibuk mengatur semuanya. Tak ada yang kukenali kecuali tatapan cantik dan teduh milik seseorang yang tersenyum kepadaku dibalik maskernya. Dokterku masuk, dan mengusap-ngusap punggung tanganku untuk memberi kekuatan. Mungkin ia melihat betapa pucatnya wajahku saat itu, J. “Ga papa kok Cha, berdoa ya, mudah-mudahan lancar’, hiburnya. Malah ia mulai berkelakar dan sempat membuatku tersenyum. Setelah itu, ia dan perawat mengambil tangan kiriku. Hatiku komat-kamit memohon pertolongan Rabb. Aku takut jarum suntik yang akan membiusku. Ku palingkan wajah ke arah kanan, tapi yang terlihat malah peralatan yang akan membekapku saat operasi nanti. Mungkin kalau saat itu, ada alat untuk menghitung kecepatan detak jantungku, mungkin alatnya langsung aus karena capek mengikuti irama detak jantungku yang tak beraturan. Akhirnya, kupejamkan mata, dengan menyebut nama Rabb, kurasakan sengatan jarum suntik dan aliran obat yang masuk ke dalam darahku. Hanya dalam hitungan menit, aku keliyengan dan lampu operasi diatas kepalaku terasa bersinar begitu terang dan lambat laun hanya sunyi disekitarku dan setelah itu aku entah berada dimana.

“Rosa..bangun… sudah selesai…Rosa …. Bangun….”

Aku hanya mendengar suara-suara memanggilku. Yang hanya dapat aku lihat hanya cahaya-cahaya lampu putih. Beberapa lama kemudian, aku baru mendengar suara-suara yang aku kenal. Suara mamaku, suara papaku, dan suara aling. Aku tahu siapa yang ada disebelah kiriku dan disebelah kananku, tapi aku tak bisa menyahuti panggilan mereka. Karena aku masih merasa berada di dunia lain. Perlahan-lahan mungkin biusku sudah mulai habis, muntah darah tak dapat ku tahan. Rasa sakit yang menyengat tenggorokanku membuatku terjaga dari mati suriku. Tapi rasa lemas dan sisa-sisa feodal kebengisan bius masih menggerayangi, membuatku tak dapat berbuat apa-apa selain memuntahkan rasa mual darah yang ada di perutku.

Aku dipaksa meminum susu dingin yang dipipeti ke mulutku. Rasanya sebenarnya sangat enak, tapi perih dan sakitnya tenggorokanku sewaktu menelannya membuatku menolak apapun yang dicekoki ke dalam mulutku. Aku juga mendengar betapa ributnya keluargaku ketika membuka tutup botol obat penahan rasa sakitku. Kepanikan dan rasa iba mungkin itu yang melanda mereka. Dan akhirnya aku mendengar papa berkata kalau aling memaksa membuka botol itu dengan menggigitnya…:D Dan sebelumnya aku juga mendengar langkah terburu-buru adikku membawa tissu untuk melap mulutku dari sisa muntahan. Dan aku juga melihat mondar-mandirnya super power grandpaku di ujung tempat tidurku. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa untuk menenangkan mereka, bahwa aku baik-baik saja… J

Tiga setengah jam aku di ruang operasi, menghasilkan dua buah bulatan seperti bakso. Ternyata itu dia si amandel yang telah menemaniku dan menjadi garda depan pertahanan tubuhku. Tapi sekarang mereka sudah ku pensiunkan. Sudah cukup lama mereka bertugas extra karena kesensitivannya. Sudah saatnya mereka istirahat. Dan aku juga harus bisa melanjutkan hidup tanpa mereka. J


Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...